Tinjauan Sosiologis Soal Kegemaran Masyarakat Melahap Berita Hoax
Jakarta - Kemajuan teknologi informasi mendorong perubahan kultur dan kebiasaan masyarakat, termasuk salah satunya adalah menyebarkan berita atau informasi. Sosiolog UGM Derajad S Widhyharto mengungkap alasan sebagian orang 'suka' menyebarkan berita hoax.
"Kalau mengapa masyarakat 'suka' menyebarkan hoax, karena--terutama budaya komunikasi kita--selama ini kan terbiasa formal normatif, identitas sangat dibutuhkan. Ketika muncul online, tanpa harus memberikan identitas bisa mengungkapkan apa yang mereka inginkan," ujar Derajad saat berbincang dengan detikcom, Jumat (30/12/2016).
Sebelum dunia internet berkembang seperti ini, setiap orang harus menunjukkan identitasnya ketika berpendapat. Namun ketika ada isu yang belum tentu benar dan kebetulan sesuai dengan opininya, seseorang kemudian menyebarkannya begitu saja.
Terkadang mereka berpikir bahwa tak ada sanksi ketika menyebarkan informasi yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan itu. Padahal di Indonesia sudah ada Undang-undang ITE.
Manurut Derajad, ada dua kelompok masyarakat yang kerap memproduksi isu hoax. Pertama adalah mereka yang euforia terhadap teknologi baru.
"Mereka meluapkan kegembiraannya dengan menciptakan isu itu. Kedua, adalah masyarakat yang well educated, mendapat pendidikan, sengaja memanfaatkan. Mereka mampu memproduksi sebuah informasi baru yang notabene tidak jelas, dan tidak didukung data," papar Derajad.
Darajad kemudian menjelaskan cara membedakan informasi hoax dengan yang fakta. Setiap informasi yang bisa dipertanggungjawabkan pasti menampilkan sumbernya.
"Kemudian, teks itu menyuguhkan data enggak? Kalau teks tak menyediakan data jangan jangan hanya opini saja yang perlu diuji," imbuh Derajad.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah pada pengguna medium penyebaran informasi. Masyarakat harus memiliki kemampuan cek dan ricek, jika tak ingin berita hoax menyebar.
Kontrol sosial yang pertama adalah dalam peer group atau kelompok sepermainan. Kelompok ini bukan berarti untuk mereka yang masih anak-anak saja, tetapi semua umur. Mereka diharapkan bisa saling mengingatkan ketika ada yang menyebar info palsu agar tak disebar ke luar kelompok.
"Bayangkan ketika anak-anak sekarang sudah memiliki smartphone. Bagaimana cara mereka melakukan penyaringan terhadap isu-isu bohong?" ungkap Derajad.
Dia pun mengusulkan agar pengetahuan tentang menyaring isu palsu masuk ke dalam pelajaran sekolah. Bisa disisipkan ke pelajaran Bahasa Indonesia dan juga ilmu komputer.
"Sebenarnya masyarakat Indonesia sudah memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai masyarakat jejaring. Mereka telah menjadikan informasi sebagai modal, memanfaatkan teknologi," ujar Derajad.
"Kalau mengapa masyarakat 'suka' menyebarkan hoax, karena--terutama budaya komunikasi kita--selama ini kan terbiasa formal normatif, identitas sangat dibutuhkan. Ketika muncul online, tanpa harus memberikan identitas bisa mengungkapkan apa yang mereka inginkan," ujar Derajad saat berbincang dengan detikcom, Jumat (30/12/2016).
Sebelum dunia internet berkembang seperti ini, setiap orang harus menunjukkan identitasnya ketika berpendapat. Namun ketika ada isu yang belum tentu benar dan kebetulan sesuai dengan opininya, seseorang kemudian menyebarkannya begitu saja.
Terkadang mereka berpikir bahwa tak ada sanksi ketika menyebarkan informasi yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan itu. Padahal di Indonesia sudah ada Undang-undang ITE.
Manurut Derajad, ada dua kelompok masyarakat yang kerap memproduksi isu hoax. Pertama adalah mereka yang euforia terhadap teknologi baru.
"Mereka meluapkan kegembiraannya dengan menciptakan isu itu. Kedua, adalah masyarakat yang well educated, mendapat pendidikan, sengaja memanfaatkan. Mereka mampu memproduksi sebuah informasi baru yang notabene tidak jelas, dan tidak didukung data," papar Derajad.
Darajad kemudian menjelaskan cara membedakan informasi hoax dengan yang fakta. Setiap informasi yang bisa dipertanggungjawabkan pasti menampilkan sumbernya.
"Kemudian, teks itu menyuguhkan data enggak? Kalau teks tak menyediakan data jangan jangan hanya opini saja yang perlu diuji," imbuh Derajad.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah pada pengguna medium penyebaran informasi. Masyarakat harus memiliki kemampuan cek dan ricek, jika tak ingin berita hoax menyebar.
Kontrol sosial yang pertama adalah dalam peer group atau kelompok sepermainan. Kelompok ini bukan berarti untuk mereka yang masih anak-anak saja, tetapi semua umur. Mereka diharapkan bisa saling mengingatkan ketika ada yang menyebar info palsu agar tak disebar ke luar kelompok.
"Bayangkan ketika anak-anak sekarang sudah memiliki smartphone. Bagaimana cara mereka melakukan penyaringan terhadap isu-isu bohong?" ungkap Derajad.
Dia pun mengusulkan agar pengetahuan tentang menyaring isu palsu masuk ke dalam pelajaran sekolah. Bisa disisipkan ke pelajaran Bahasa Indonesia dan juga ilmu komputer.
"Sebenarnya masyarakat Indonesia sudah memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai masyarakat jejaring. Mereka telah menjadikan informasi sebagai modal, memanfaatkan teknologi," ujar Derajad.
0 komentar:
Posting Komentar